Selasa, 03 Agustus 2010

Senyuman Di Senja Terakhir

Senja itu indah. Kalimat itulah yang terus terpatri dalam benakku. Aku sangat menyukai senja. Karena senja itu indah…
Di sinilah aku sekarang. Menatap dalam diam ke arah jendela yang seolah dihiasi oleh pemandangan senja. Tak mengerti apakah harus senang atau sedih menatap senja. Senang karena aku masih bisa melihat senja, yang berarti Tuhan masih mengizinkan aku untuk bernafas. Sedih bila akhirnya ini adalah senja terakhir yang harus kupandangi.
Aku terus berharap masih ada senja-senja yang terus menantiku di hari esok. Rutinitas inilah yang kerap kulakukan bila senja datang menggantikan sore. Ada rasa tak sabar saat aku menunggu saat datangnya senja. Tak sabar untuk segera bercerita.
Menceritakan semua yang ingin kuceritakan. Bukan berarti aku tak memiliki siapa-siapa. Aku masih mempunyai orang tua yang sangat menyayangiku, meski rasa sayang mereka tertutupi oleh kesibukan mereka masing-masing. Aku tahu pekerjaan yang mereka lakoni merupakan salah satu pelarian dari kesedihan yang mereka rasakan selama ini.
Aku bisa merasakan aura duka itu. Mereka hanya menggunakan kesibukan mereka sebagai topeng, sebagai tempat bersembunyi dari semua yang harus mereka jalani. Padahal di balik semua itu hati mereka sangat rapuh. Bagaimana tidak rapuh bila suatu saat nanti mareka harus siap menerima kehilangan seorang anak. Dan statusku sebagai anak tunggal seolah ikut menggenapkan duka mereka. Karena apabila ‘saat itu’ telah datang, tak ada lagi yang menggantikanku sebagai anak mereka.
Aku masih termangu dalam diam. Ingatanku seolah menjemput memori masa laluku, saat di mana aku menganggap bahwa senja adalah hal biasa. Hanya sebuah fenomena alam. Saat di mana aku menghabiskan hariku bersama ayah dan bunda. Saat di mana senyuman dan tawa bukan sesuatu yang langka di antara kami. Saat di mana aku bisa melakukan semuanya sendiri. Ya, sendiri. Sampai ‘hari itu’ datang seolah meminta untuk kulalui..
Hari yang kelam. Hari yang senjanya tak begitu indah, karena ditutupi oleh mendung. Hari yang menurutku awal dari jalan menuju akhir hidupku.
Mendung di senja itu sudah menjelma menjadi hujan yang membasahi jalan yang kulalui bersama teman-temanku. Saat aku dan teman-temanku baru saja menghadiri reunian. Rasa rindu tak bisa terbendung saat bertemu teman lama. Tapi peristiwa naas itu seolah menjadi bagian dari kisah bahagiaku.
Bus yang aku tumpangi terbalik saat melalui jalan yang sangat licin. Separuh dari nyawa yang ikut di dalam bus, terbang dibawa angin yang berhembus di senja itu. Inikah akhir dari cerita rindu kami? Aku bingung, apakah harus bahagia atau menangis saat tahu aku menjadi salah seorang yang nyawanya terselamatkan.
Tentu saja dengan badan yang hampir remuk. Kepalaku tak sedikit mengeluarkan darah, yang mengalir bersama tetesan air hujan. Hanya itu yang kuingat. Yang kutahu semenjak saat itu, hidupku berubah. Kepala sering terasa pusing. Hidungku selalu mengeluarkan darah secara tiba-tiba. Dan aku semakin sering pingsan. Aku tak tau penyakit apa yang telah menyerangku.Yang jelas penyakit ini perlahan menghilangkan fungsi dari masing-masing organ tubuhku.
Matahari sudah benar-banar tenggelam di ufuk barat, menandakan senja sudah berakhir. Lamunanku terhenti saat mendengar suara bunda di balik pintu kamarku. Tanpa sadar tanganku menyapu pipiku yang basah. Ternyata aku menangis. Aku memang tak pernah kuasa membendung air mataku bila mengingat peristiwa itu.
“Masuk, Bun…” ucapku lirih. Suaraku bergetar.
Bunda tersenyum lembut kearahku, “Syafa, ayo kita makan malam. Ayah sudah menunggu di ruang makan.”
Aku hanya mengangguk. Bunda berjalan menujuku. Kemudian ia mulai mendorong kursi rodaku. Ya, inilah aku, Syafa Syaqila. Dengan usia 16 tahun 3 bulan lalu kakiku mendadak lumpuh. Aku mengira ini bagian dari penyakit aneh yang menyerangku. Beginilah aku sekarang. Hidupku bertumpu pada kursi roda yang sekarang kutumpangi. Aku takut penyakit ini terus menggerogotiku. Hingga akhirnya merenggut nyawaku.
Ternyata ayah memang sudah menungguku di meja makan. Lengkap dengan makan malam yang sudah terhidang di atasnya. Ayah menyambutku dengan senyuman yang sama lembutnya dengan bunda.
“Apa kabar kamu hari ini, sayang?” Tanya ayah sambil mengusap kepalaku, seolah-olah aku anak yang berusia 5 tahun.
“Baik Yah…” jawabku ragu. Ragu karena dengan kenyataan ini apakah hidupku bisa digolongkan baik.
Ayah hanya tersenyum getir mendengar jawabanku. Selanjutnya kami makan malam ditemani diam. Sampai akhirnya Ayah membuka topik pembicaraan yang mengingatkan aku bahwa lusa adalah hari ulang tahunku. Ayah berjanji akan merayakan ulang tahunku yang ke-17 tersebut.
Senang? Tentu saja aku senang. Tapi aku tidak mungkin lompat-lompat untuk menunjukkan rasa senangku. Aku hanya bisa tersenyum. Saat Ayah dengan antusiasnya menceritakan rencana-rencananya untuk ulang tahunku, tiba-tiba saja, sendok dan garpuku terhempas. Dan tanpa bisa kukontrol, kedua tanganku tiba-tiba terjatuh ke sisi kursi roda. Aku bingung dengan apa yang terjadi padaku. Begitupun dengan tatapan ayah dan bunda yang di tujukan padaku.
“Bun…” suaraku mulai bergetar hebat, mataku mulai memanas. Aku menangis.
Tanganku tiba-tiba tidak bisa kugerakkan. Aku melihat ayah dan bunda mulai cemas.
Kemudian gelap, aku pingsan.
***
Langit-langit kamar putih yang pertama kali kulihat saat aku tersadar dari pingsanku yang ntah sudah berapa lama. Bau obat yang menusuk hidung meyakinkanku bahwa aku berada di rumah sakit. Ayah, Bunda, orang pertama yang kulihat disekelilingku. Mata bunda terlihat sembab, menandakan ia baru saja menangis. Aku hanya tersenyum kepada mereka, seolah-olah meyakinkan bahwa aku tidak apa-apa.
Tapi rasa sakit itu tak bisa kupungkiri. Sakit yang bergejolak di dada ini seolah mendobrak senyumku menjadi sebuah air mata yang kini mengalir di pipiku.
Tapi dengan lirih aku tetap berkata, “Bunda? Syafa pasti sembuh kan, Bunda?”
Bunda yang mendengarkannya hanya mengangguk. Tapi anggukan menyiratkan ketidakpastian dengan apa yang ia rasakan. “Iya, sayang. Kamu pasti sembuh kok. Makanya kamu harus kuat ya…” Ayah angkat bicara. Ada kelegaan yang luar biasa yang kurasakan, yang bisa dapat mengurangi rasa sakit di dadaku ini. Walau hanya sedikit.
“Ayah, nanti kalau Syafa udah sembuh, Syafa mau lihat senja ya, Yah?” Kini giliran ayah yang hanya bisa mengangguk mendengar pertanyaanku. “Ayah., Bunda, Syafa mau tidur dulu ya, Syafa ngantuk..” kataku dengan nada yang kubuat seceria mungkin. Bunda segera menyelimutiku dan mencium keningku.
Rasa sakit di dadaku memaksaku untuk bangun dari tidurku. Keringat dingin mulai mengalir dari seluruh tubuhku. Ya Tuhan, apa lagi yang kurasakan ini? Kenapa dadaku terasa begitu sakit? Apa kau akan membunuhku dengan menghentikan detak jantungku? Ayah dan bunda yang melihatku terbangun dengan nafas yang tersengal-sengal, mendekati tempat tidurku, “kamu kenapa sayang?” tanya ayah khawatir.
Bunda mengusap-ngusap kepalaku, sambil menenangkanku bahwa tidak akan terjadi apa-apa. Aku hanya menggeleng. Badanku yang lemas menjadikan suaraku menjadi sangat pelan. “Peluk Syafa, Bunda! Syafa kedinginan.” Bunda segera memelukku dengan erat. Aku bisa merasakan adanya rasa takut kehilangan di sana. “Bunda, Syafa boleh minta sesuatu, Bunda?”
“Boleh, sayang.“
“Syafa mau lihat senja, Bunda…”
“Sekarang?”
Aku mengangguk. Bunda mengalihkan pandangannya ke ayah. Ayah menatap jam di pergelangan tangannya, kemudian mengangguk. Lima belas menit kemudian aku sudah berada di pantai dekat rumah sakit. Aku tersenyum saat sampai di sana..
Senja yang begitu indah. Rasanya sudah lama sekali aku tak melihat senja. Ayah menurukanku dari gendongannya, ke kursi roda yang bunda dorong. Kami terdiam untuk waktu yang cukup lama. Sampai akhirnya aku berkata,
“Ayah…bunda…maafin Syafa ya. Karena selama ini Syafa ga’ bisa jadi anak yang ayah dan bunda banggain. Cuma bisa nyusahin kalian.. Tapi karena itu juga Syafa harus bilang makasih. Karena kalian udah jadi orang tua yang nggak tergantikan. Bunda yang nggak pernah ngeluh ngerawat Syafa. Ayah yang selalu bisa buat Syafa tersenyum. Syafa senang waktu dengar kalian mau ngerayain ulang tahun Syafa. Seharusnya hari ini kita ada di rumah nyanyiin lagu ulang tahun buat Syafa. Tapi Syafa nggak bisa buat apa-apa kalau semuanya jadi kayak gini. Maafin Syafa..”
Bunda memelukku seperti di rumah sakit. Ayah yang sekarang ikut memelukku berkata, ”Nggak sayang…kamu nggak ngerepotin kok. Kamu udah buat kami bangga dengan jadi anak kami.”
“Makasih, Yah..” Andai saja tanganku ini bisa kugerakkan, pasti aku akan memeluk mereka lebih erat lagi. Tapi sayang, rasa sakit di dadaku tak juga berkurang, namun aku tak ingin menangis. Tak ingin membuat mereka menangis. “Bunda jangan nangis…”
“Bunda nggak nangis sayang. Bunda senang karena hari ini umur kamu udah 17 tahun. Berarti anak bunda udah besar”
Aku ikut tersenyum, “Bunda….Ayah…Syafa capek. Syafa tidur dulu ya…”
Ayah dan bunda melepas pelukannya. Kemudian menyelimuti dengan selimut yang mereka bawa. Sebenarnya ada rasa takut saat aku ingin menutup mata ini. Takut aku tidak akan terbangun lagi nantinya. Tapi aku yakin, Tuhan sudah menggariskan hidup manusia sejak lahir. Aku harus terima jika hidupku harus berakhir di sini..Aku menutup mataku dengan tenang. “Selamat tinggal Ayah, Bunda. Selamat tinggal dunia..Selamat tinggal senja….”***

Khirzun Nufus,
kelas X SMAN 8 Pekanbaru

Senin, 02 Agustus 2010

Cerita Lucu Part 2

DILARANG BERJILBAB

Suatu hari seorang teman terpanggil untuk memakai jilbab. Karena hatinya sudah mantab, dia segera pergi ke took pakaian muslim untuk membeli jilbab. Setelah membeli beberapa pakaian muslimah lengkap dengan jilbab berbagai model, dia pun pulang ke rumah dengan hati berbunga-bunga.

Sesampainya di rumah, dengan bangga dia mengenakan jilbabnya. Namun, ketika dia keluar dari kamarnya, kedua orangtuanya langsung menjerit. Mereka murka da n meminta anaknya segera melepaskan jilbab. Anak itu tentu merasa sangat terpukul. Bayangkan, ayah dan ibunya sendiri menentangnya mengenakan jilbab. Si anak tetap berusaha berpengang teguh pada pendiriannya, tetapi orangtuanya malah mengancam akan memutuskan hubungan jika dia keras kepala. Dia tidak akan diakui sebagai anak selamanya jika tetap mengenakan jilbab. Anak itu pun menangis, meraung-raung sejadi-jadinya. Dia merasa menjadi anak yang paling malang di dunia.

Sukurlah dia tidak putus asa. Dia meminta gurunya agar member i pengertian kepada kedua orangtuanya. Apa lacur? Jangankan menasihati, untuk menemui kedua orangtua anak itu pun sang guru tidak memiliki keberanian. Si anak kemudian mencoba berbicara dengan ustad pengurus masjid di dekat rumahnya agar membujuk kedua orangtuanya. Lagi-lagi, hasilnya nol besar! Sang ustad menolak mentah-mentah permintaannya.

Belum pernah rasanya anak ini dirundung duka seperti itu. Dia merasa sendirian di dunia yang gemerlap ini. Dia merasa sendirian di dunia yang gemerlap ini. Tak ada seorang pun yang mau mendukung keputusasaannya untuk mengenakan jilbab. Akhirnya dia memutuskan untuk mengguanakan cara terakhir. Suatu pagi ia menemui orangtuanya dan berkata, “Ayah, Ibu yang saya cintai. Saya tetap akan memakai jilbab ini. Kalau Ayah dan Ibu tidak mengizinkan juga saya akan bunuh diri.” Sejenak suasana menjadi hening. Ketegangan dalam keluarga itu seolah sedang di titik nadir. Akhirnya sambil menghela napas panjang, si Ayah berkata lirih, “Joko, Joko! Yen kowe wedok sak karepmu arep nganggurok, jilbab, apa kebaya. Lha wong kowe lanang kok pengen nganggo jilbab?” (Joko, Joko! Kalau kamu perempuan, terserah mau pakai rok, jilbab, atau kebaya. Kamu kan laki-laki, masak pakai jilbab?).


ISTRI MELAHIRKAN

Suatu hari Ujang membeli rokok di warung Bang Tumin. Tiba-tiba Bang Tumin menghampirinya dengan wajah gembira.

Ujang : Gembira sekali Bang? Ada apa nih?

Bang Tumin : Iya nih Mas Ujang, saya baru baca surat dari istri di kampong.

Ujang : Ada berita apa memangnya?

Bang Tumin : Istri saya sudah melahirkan! Anaknya perempuan, cantik sekali katanya.

Ujang : Selamat deh Bang. Abang pulang kampong dong?

Bang Tumin : Pasti dong. Lagian saya kan sudah dua tahun nggak pulang kampong dan ketemu istri saya.


GELAP BANGET

Ayah : Bob, kamu lagi ada di mana?

Bobby : Di teras, Yah.

Ayah : Coba kamu lihat lampu teras sudah dinyalakan apa belum.

Bobby : Gak tau Yah, di sini gelap banget….

Ayah : ???

MELANGGAR JANJI

Guru : Cemen, bukankah kamu sudah janji tidak akan nakal lagi?

Cemen : Bukankah saya juga janji akan menghukum kamu kalo kamu nakal sekali lagi?

Guru : Ya, Pak. Tapi karena saya sudah melanggar janji saya, Bapak juga tidak perlu menepati janji Bapak itu.

CITA-CITA

Jhony : Kalo udah gede kamu pengen jadi apa To?

Marto : Aku pengen jadi dokter. Kamu pengen jadi apa Jhon?

Jhony : Asyikkk, kalo kamu jadi dokter aku bisa jadi pasien gratis ya?

Marto : Boleh, boleh aja. Pas kok, aku pengen jadi dokter hewan.

Rabu, 28 Juli 2010

Cerita Lucu Part 1

Salah Nurunin Resleting
Tumini seorang wanita dewasa pegawai sebuah kantor swasta asing pagi itu mau berangkat kerja dan lagi menunggu bus kota di mulut gang rumahnya. Seperti biasa pakaian yang dikenakan cukup ketat, roknya semi-mini, sehingga bodinya yang seksi semakin kelihatan lekuk likunya.

Bus kota datang, tumini berusaha naik lewat pintu belakang, tapi kakinya kok tidak sampai di tangga bus. Menyadari keketatan roknya, tangan kiri menjulur ke belakang untuk menurunkan sedikit resleting roknya supaya agak longgar.

Tapi, ough, masih juga belum bisa naik. Ia mengulangi untuk menurunkan lagi resleting roknya. Belum bisa naik juga ke tangga bus. Untuk usaha yang ketiga kalinya, belum sampai dia menurunkan lagi resleting roknya, tiba-tiba ada tangan kuat mendorong pantatnya dari belakang sampai Marini terloncat dan masuk ke dalam bus.

Tumini melihat ke belakang ingin tahu siapa yang mendorongnya, ternyata ada pemuda gondrong yang cengar-cengir melihat Tumini.

“Hei, kurang ajar kau. Berani-beraninya nggak sopan pegang-pegang pantat orang!”

Si pemuda menjawab kalem, “Yang nggak sopan itu situ, Mbak. Masak belum kenal aja berani-beraninya nurunin resleting celana gue.”

Pemeras Kecil
Seorang anak kecil yang bandel melihat kakaknya dicium oleh teman lelakinya. Esok harinya, ia menemui lelaki itu.

“Abang semalam mencium kakakku bukan?”
“Ya, tapi jangan keras-keras. Ini seribu untuk tutup mulut!”
“Terima kasih, ini uang kembaliannya lima ratus!”
“Lho, kok pakai uang kembalian segala?”
“Saya tidak mau nakal, Bang. Semua orang yg mencium kakak juga saya tagih lima ratus!”
“???!!!”

Sakit kanker ato Aids??
Seorang penderita kanker di beritahukan oleh dokternya bahwa hidupnya tidak lama lagi hanya sekitar 2 minggu lagi. Mendengar khabar tak mengenakkan hati, ia memberitahukan anaknya untuk segera mengadakan pesta besar perpisahan.

Ditengah kawan-kawannya ia menyatakan : “Maaf teman-teman, Saya mengumpulkan Kalian agar tahu bahwa Saya tak lama lagi akan meninggalkan Kalian, AIDS telah merongrong tubuh Saya.”

Anaknya dengan heran bertanya : “Ayah, mengapa Ayah berbohong atas penyebab kematian Ayah?”

Ayahnya menjawab : “Sssst, aku tak mau salah seorang dari mereka akan tidur dengan Ibumu yang cantik setelah aku meninggal kelak !”

Kalo Kerja Pake Ini
Kerja pake ini Di suatu pinggiran kota, hiduplah seorang nyonya yang cukup (sedikit mampu) dengan pembantunya yang selalu buat masalah.

Suatu hari, pembantu itu memecahkan piring untuk kesekian kalinya... akhirnya nyonya itu memanggil pembantunya sambil memaki berkata," Minah....kamu ini gimana...dasar org goblok, makanya kalau kerja itu jangan pake ini (sambil nunjuk lututnya) tapi pake ini (sambil nunjuk kepalanya, otak-red)...kamu saya pecat.."akhirnya pembantunya pergi...

5 tahun kemudian, di suatu Supermarket..si Nyonya ketemu dengan pembantunya yang dulu tapi dengan pakaian yang mewah dengan banyak perhiasan emas...

Si-nyonya memanggil," Minah, kok kamu sekarang berubah..menjadi kaya...kok bisa????
Si-pembantunya menjawab," makanya Bu, kalau kerja itu jangan pake ini (sambil nunjuk kepalanya, otak-red) tapi pake ini donk (sambil nunjuk dii antara pahanya)...."?#$#@"

Kalau Main Dokter-Dokteran Jangan di Ruang Tamu
Sepasang suami istri tertangkap basah oleh anak mereka ketika sedang melakukan hubungan badan di ruang tamu. Pasangan suami istri itu berusaha menjelaskan kepada anak mereka yang setengah remaja itu, bahwa mereka sedang bergurau dan bermain dokter-dokteran.

Dengan santai si anak menasihati orang tuanya itu, "Kalau mau main dokter-dokteran jangan di ruang tamu, nanti kalau ada orang ngeliat kan disangka sedang melakukan hubungan suami-istri....!"

Bukan Pilihan

“Kapan melamarku, Zul?” jemari Silvy bermain di atas lengan kananku. Ia duduk satu kursi bersamaku. Dua matanya tajam menatapku.

Cahaya meredup, matahari siap kembali ke peraduan. Awan membusung merah di barat, angin berhembus menggoyang daun pepohonan depan kost. Aku diam, menatap seorang ibu menyapu halaman rumahnya, terkadang ibu itu melirik anaknya yang bermain kelereng bersama teman-temannya, wajahku berpaling dari Silvy.
“Jawab, Zul!” Silvy menggoyang lenganku.

Sejenak kupejamkan kedua mataku, mengingat saat Silvy kuantarkan men-daftar di salah satu perguruan tinggi, mengenang dua bulan lalu aku mendampinginya wisuda, berpose dengan keluarganya, juga kami berpose bersama, ia tersenyum lebar saat lampu kilat menyambar.

Kubuka dua mataku, mencoba sadarkan diri. Aku masuk kuliah lebih dulu, tapi sampai sekarang aku masih betah berangkat ke kampus dengan tas di punggung. Entah, aku sendiri tak tahu sudah berapa tahun aku bertemu dosen di kelas, sudah berapa kali aku harus mengulang meteri-meteriku, bahkan aku tidak tahu sekarang semester berapa, mungkin sebelas, tapi kata Silvy tiga belas.

“Tunggu aku wisuda, Silvy,” suaraku berat menjawab.
“Kamu selalu berkata setelah wisuda, setelah wisuda. Tapi kamu sendiri tidak tahu kapan akan diwisuda!” Silvy sudah bosan. Ketika silvy masih kuliah, ia pernah memintaku untuk melamarnya. Permintaan itu semakin sering kudengar seiring ibunya bertanya tentang keseriusanku, tapi jawabanku sama, “setelah wisuda.”
“Pasti aku akan wisuda, Silvy,” kucoba tenangkan dia.

Wajahnya tampak mengkerut, ia benarkan duduknya, semakin menghimpitku, “Zul, wisuda memang selalu datang, tapi kalau kamu tidak pernah mengejarnya, tidak berusaha, sama saja,” hari ini Silvy yang sabar, ketus.
“Aku janji, aku pasti datang melamarmu,” aku rajut jemari halusnya sambil menatap untuk meyakinkannya, aku tak ingin dia pergi dariku.

“Janji, tak semudah itu berjanji, tapi tidak bisa kau tepati. Utangmu sudah banyak, Zul,” Silvy kesal, ia mengibas tanganku lalu pergi meninggalkanku terpaku di atas kursi, kerudungnya melambai dengan jalan setengah berlari terpacu emosi. Aku berdiri ingin memanggilnya kembali tapi ia tak mungkin mendengar, telinganya tak lagi terbuka. Silvy sudah hapal semua kata dariku, ia bosan, ia tak lagi butuh romantis-romantisan, tanganku menggantung, mulutku yang menganga kututup kembali.

“Fuh…” kusandarkan tubuhku di tiang kayu, kepalaku tertunduk lesu, jemariku mengurai rambut, lidahku terasa membeku.

Aku sendiri tak mengerti, kenapa aku tidak menyadari umurku semakin berkurang, dua puluh lima, waktu yang tepat untuk bersanding di pelaminan, bukan memeluk bantal, memegang obeng memoles sepeda motorku, tapi aku…ah…aku…kupijat keningku.

***

Akhir pekan aku pulang ke rumah, Air Tiris. Ayahku sakit, jalannya sudah bungkuk, sedangkan tongkat tak lagi bisa membantu, ibu memapahnya ke kamar mandi, ayah tertatih-tatih berjalan, makan harus disuapi, nafasnya berat, tulang di tangan tampak ke permukaan, otot sisa kejantanan menyembul. Ayah lebih sering terbaring di ranjang menatap atap.

Kusibak tirai kamar, kulihat mata ayah terpejam, dadanya turun naik, sebagian tubuhnya tertutup selimut. Aku duduk di sampingnya, kugenggam tangan ayah setelah menciumnya, mataku berkaca menatap wajah ayah yang teronggok layu di atas bantal, semakin lama mataku melihat ayah semakin banyak doa yang berkelebat di bibir.
Ibu sedang menjahit, aku ambil posisi duduk sebelahnya di ruang tamu, “Bu….”
“Apa?” ibu membenarkan kacamatanya.

“Zulhamdi mau melamar Silvy, bu,” aku jujur.
Seketika itu ibu berhenti meneruskan jahitannya, ”Kamu belum selesai, Zul, dan menikah tidak semudah membalikkan telapak tangan.”

“Zul sudah berpikir berkali-kali,” aku melihat anak kecil bermain sepeda dari lubang jendela.
Ibu melepas kacamatanya, menatapku dalam-dalam, “Tanyakan pada ayahmu.”
Aku diam, kusandarkan tubuhku sembari kuusap wajah.

“Ukh…ukh…ukh…” suara batuk menyeruak, aku berlari ke kamar ayah sebelum ibu berdiri.
“Yah,” seketika kulihat ayah terbangun dari tidurnya. Segelas air putih kuberikan padanya.
Ayah menyeret tubuh, ia ingin duduk, kusiapkan bantal belakang punggungnya, ayah langsung menghabiskan segelas kecil air putih.

“Sudah lama, Zul?” suara ayah serak.
“Zulhamdi baru datang, yah,” kuletakkan gelas di atas meja kecil.
Ayah menghirup nafas, tangannya menarik selimut, “Bagaimana kuliahmu, Zul?”
Kalimat itu selalu menyapa seperti salam, namun matanya tak pernah melihatku, ayah sudah bosan dan aku hanya bisa diam.

Sekilas kupandangi guratan kecewa di wajahnya, “Zul ingin melamar Silvy, yah,” aku beranikan diri.
Ayah tak terkejut, matanya lurus menatap bias ke jemari kakinya. sejenak ayah menunduk, “Ukh…ukh…ukh…” suara batuk kembali terdengar, “Ayah tidak melarangmu, tapi sisa umur ayah hanya untuk menunggu kamu lulus S1.”
Ayah menoleh ke arahku, “Ayah sudah puas dengan tiga cucu dari kakakmu, sudah bahagia mendapat dua menantu, tapi semua itu tak berarti jika kamu belum lulus, Zul. Jangan buat ayah selalu datang dalam mimpimu menanyakan kelulusanmu.”

Hatiku bergetar mendengar suara serak ayah.
“Zul, kesempurnaan kebahagiaan orang tua ada pada anaknya.”
Mulutku terkunci, semua keinginanku pudar, semua kata ayah merasuk mengisi setiap relung dalam ragaku, sekujur tubuhku merenung.

***

Aku berjalan di antara rak buku perpustakaan, langkahku merambat pelan mengikuti mataku yang menelisik setiap judul, kadang aku berhenti, menarik buku ke luar dari barisannya, tapi tak jarang kukembalikan. Beberapa hari ini aku terjebak di sini.

“Zulhamdi, Silvy datang,” salah satu temanku memberi tahu.
Kututup buku, kuletakkan di meja paling pojok, setengah berlari aku ke luar, demi Silvy kucoba menjadi lelaki yang sempurna.

Kuhampiri Silvy, ia duduk di kursi panjang bawah pohon sawit depan gedung perkuliahan, aku duduk di sampingnya, “Sudah lama, Silvy?”

Silvy menggelang, “Gimana, Zul? ibuku selalu bertanya. Kamu tahu sendirilah, Zul, bagaimana orang tuaku.”
Seketika teringat setiap kata dari ayahku, tubuhnya, suara batuknya, bagaimana ia terbaring. Kutatap mata Silvy, kulihat ia berharap aku menjawab, “Tunggu aku, Silv.”
“Bosan aku mendengarnya, Zul,” wajah silvy berpaling dariku.***

Aidillah Suja,
Anggota Komunitas Alinea-1
FLP Pekanbaru

Suatu Sore, di Bawah Tiang Bendera

Keringat mengalir deras di tubuhnya yang hitam. Butiran-butiran putih tersebut menggelinding seperti air hujan yang terhempas pada batu hitam mengkilat. Terik matahari tidak di pedulikannya, hatinya yang hangus lebih tersiksa dari jasadnya yang kini bermandikan panas matahari. Seandainya ia perempuan, pasti ia juga akan menangis, tapi ia laki-laki. Laki-laki yang sudah biasa terhempas, disudutkan keadaan, di tikam kenyataan yang pahit. Perjuangannya tiga tahun ini berujung pada kekecewaan yang sangat menggoncangkan jiwanya. Dua buah kata berbunyi “Tidak Lulus” yang tertulis di kertas pengumuman kemaren menghanyutkan puing-puing harapannya selama ini.

Dua kata tersebut menari-nari dengan lincah di kepalanya, selincah tangannya mengayunkan cangkul di lahan miring tempat ia menanam tanaman muda sejak tiga tahun yang lalu. Ia dilahirkan di sebuah perkampungan kecil Si Mandi Angin, 67 km dari desa Tambusai, kecamatan Tambusai, kabupaten Rohul, Riau, tempat ia bersekolah. Secara ekonomi, orang tuanya yang bekerja sebagai buruh harian tidak mampu untuk membiayai sekolahnya, tambah lagi kedua orang tuanya menganggap pendidikan hanyalah formalitas untuk orang-orang berada saja.

“Sekolah pun ujung-ujungnya bakal jadi kuli juga toh…,” nasehat yang mumpuni dari emaknya ketika ia mengemasi beberapa helai pakaian dan ijazahnya ke dalam kardus mie, di suatu pagi ketika ia akan berangkat ke Tambusai melanjutkan pendidikannya. Dalam hati ia yakin dengan pendidikan ia bisa merobah nasibnya dan Tuhan pasti mendengar doa pengembara yang sedang menuntut ilmu. Maka berangkatlah ia pagi itu dengan tatapan lusuh bapaknya yang karatan jadi kuli perkebunan toke-toke bermata sipit dari Pekanbaru.

Nasib baik menemani langkahnya. Tidak hanya diterima ia di sekolah tersebut, kepala sekolah juga memberinya pekerjaan sebagai penjaga sekolah. Ia adalah angkatan pertama dari SMA N 4 Tambusai tersebut. Pulang sekolah, dengan rajin ia membersihkan pekarangan sekolah dan pagi-pagi sebelum belajar dimulai ia menyapu lantai kelas dan kantor guru. Lahan kosong di belakang kelas yang dulunya ditumbuhi gulma disulapnya menjadi lahan produktif. Ia menanam ubi kayu, cabe rawit dan jagung bergantian. Hasilnya ia bagi dua dengan pihak sekolah. Lumayan juga penghasilannya, tiap bulan ia juga menerima honor sebagai penjaga sekolah.

Otaknya memang pas-pasan, kalau tidak boleh dibilang bodoh. Tapi semangatnya dalam mengikuti pelajaran sangat tinggi. Guru-guru yang belum seberapa, maklum sekolah baru, sangat menyayanginya. Rasa sayang sebatas manusia yang memiliki hati nurani, sebab untuk lebih dari itu, di luar kemampuan mereka juga. Mereka tidak bisa memberikan materi pelajaran sebagaimana yang dianjurkan pemerintah. Alat penunjang belajar sangat kurang, boleh dikatakan tidak ada. Sebab yang tersedia hanya ruangan kelas dan stempel dari diknas bahwa sekolah ini sudah boleh beroperasi. Buku-buku pelajaran, jauh panggang dari api.

Pernah juga suatu kali sorang wanita paruh baya berseragam pemda datang ke sekolah. Mereka menjanjikan buku yang dialokasikan dari dana BOS, tapi sampai saat ini buku tersebut tak kunjung datang barangkali sudah di pangkas ‘BOS-BOS’ yang jadi mafia di dunia pendidikan.

Suatu hari, datang juga seorang sales dari toko buku di Pekanbaru ke sekolah mereka untuk menawarkan buku-buku pelajaran yang beragam seperti yang dimiliki anak-anak sekolah di kota. Dugaan si sales tidak meleset, tak satu pun bukunya yang laku. Saprianto dan beberapa kawannya yang rata-rata anak buruh kasar perkebunan sawit hanya bisa menelan liur untuk memiliki buku tersebut.

Dengan segala keterbatasan akhirnya sampai juga ia di ujung perjuangan. Ujian Nasional (UN) diselenggarakan untuk pertama kalinya di sekolah tersebut. Kepsek dan majelis guru menyadari betul persiapan sekolah mereka untuk menghadapi UN. Guru-guru yang jauh dari standar kompetensi dan murid-murid yang tidak jenius karena dari kecil memang selalu kurang gizi. Sempat juga terlintas di benak mereka untuk mengambil jalan pintas. Membeli lembar soal, tapi rasanya juga tak mungkin. Dari mana mereka dapat uang pengisi ‘amplop’ untuk bekerjasama dengan instansi terkait.

***

Menjelang tengah hari, Saprianto masih melayangkan cangkulnya. Tak peduli sudah berapa ember keringat yang mengucur dari tubuhnya. Ia terhenti ketika ujung cangkulnya membentur sesuatu. “Nah ini dia,” bisiknya dalam hati, ketika ia yakin menemukan carocok pondasi utama dari ruang guru yang dipisahkan oleh gang sempit dari ruang kelas.

Saprianto berjalan tergesa-gesa menuju bengkel las ketok bang Regar. Bengkel tersebut terletak di pinggir jalan raya tak jauh dari gapura perbatasan Riau dengan Sumut.

“Ene opo, Sap..” sambut bang Regar berbahasa Jawa ketika Saprianto sampai di depan bengkel, maksudnya menyambut tamu beramah-tamah dengan memakai bahasa ibu si tamu tapi kedengaran lucu karena logat bataknya tak bisa lepas dari lidahnya.

“Rental pompa airnya lagi, bang!”
“Berapa jam?”

“Hitung-hitungan kali la abang ini, besok pagi kuantar lagi, sekarang sudah tengah hari. Hitungannya setengah hari jugalah bang…”

“Oke…” jawab bang Regar sambil berjalan ke belakang mengambil mesin pompa air merek robin. Sap sudah sering merental mesin di situ untuk tanaman-tanamannya.

Sap membawa mesin dengan gerobak sorong. Sampai di bekas galiannya tadi ia mengambil linggis. Sebenarnya ia sudah letih tapi ia paksa juga menghantamkan linggis ko podasi yang ia gali tadi. Setelah pondasi utama hancur ia mengalirkan air dari sungai kecil di belakang sekolah yang kira-kira 10 meter di bawah sana. Mesin pompa berkekuatan 25 pk ini menaikan air dengan enteng. Sap mengalirkan ke saluran-saluran yang dibuatnya.

Ia duduk termenung seorang diri di bawah sebuah pokok sawit. Dua hari sekolah sepi. Kepsek dan para guru tidak berani datang ke sekolah. 36 siswa sekolah tersebut, tidak seorang pun yang lulus. Mereka takut kalau-kalau murid-murid mengamuk. Tambah lagi beberapa kuli tinta sudah datang ke sekolah mereka, wartawan tersebut dengan senang hati akan mengekspos kegagalan mereka.

Tidak lama berselang ia trsenyum bangga. Bagian belakang bangunan sekolah mulai condong ke arah sungai, ia membiarkan mesin terus memompakan air berkekuatan tinggi ke pondasi sekolah yang sudah di obrak abriknya.
Atmosfir kecamatan Tambusai dinaungi mendung, tak lama kemudian hujan turun dengan lebat disertai petir sambar menyambar. Ia tersenyum makin lebar, gemuruh bangunan runtuh trdengar. Perlahan bangunan sekolahnya runtuh ke arah sungai.

Ia berlari-lari kegirangan di halaman sekolah, kemudian bersandar di tiang bendera, yang benderanya ia biarkan juga basah ku-yup seperti hatinya dan teman-teman sekelasnya, yang setiap senin melakukan upacara bendera dengan khidmat.

“Wartawan pasti akan segera berdatangan dan mewawancaraiku,” pikirnya dalam ha-ti. “Ini adalah moment yang tepat. Saat diwawancarai nanti aku akan akan berkirim sa-lam kepada menteri Pendidikan Nasional. Pak menteri pasti akan senang dapat salam dariku di hari Pendidikan Nasional yang akan diperingati beberapa hari lagi.” Senyumnya makin manis demi teringat jawaban-jawaban yang akan di berikannya kepada wartawan.

Ia membayangkan, ketika nanti ia melihat dirinya di tv, maka semua pejabat pemerintah, dan semua orang di seluruh Indonesia, bahkan dunia, akan tertawa keras sejadi-jadinya.***

Oleh: Elrinov Tri Putra